Senin, 07 Juli 2014

Jalan Mendekat kepada Allah SWT (2)


Pada bahasan sebelumnya kita sudah masuk ke dalam materi mengenai jalan-jalan menuju Allah SWT. Di mana jalan menuju Allah SWT mesti memiliki keyakinan terhadap Allah SWT. Di satu sisi, keyakinan ini hendak mengajarkan untuk tidak gampang putus asa dari rahmat Allah. Di mana Allah SWT tidak mesti terikat dengan kaidah ilmu manusia dalam menarik seseorang untuk mendekati-Nya. Sisi lainnya, jangan meremehkan orang lain yang bisa mendekat kepada Allah dengan jalan yang lain, karena mereka dari awal sudah berhasil menyingkirkan ‘tuhan-tuhan’ tandingan dari hatinya.

Dengan demikian, pada jalan mana saja kita akan menempati menuju kedekatan dengan Allah SWT, tetap fokus kita adalah membersihkan hati dan menjaga diri dari dosa. Sebagai contoh adalah ketika seseorang berbuat sesuatu namun niatnya ingin mendapat kedudukan di hati manusia. Hati-hati pula bagi yang masih banyak sering ngobrol tidak bermanfaat. Bagi yang ingin memiliki hati yang jinak, maka kurangi saja ngobrolnya. Harus berani berhenti kalau dirasa cukup. Mengobrol itu banyak sekali peluang untuk berbuat salahnya, misalnya, pamer ilmu, kesalehan, perasaan kedudukannya di sisi Allah; belum ada tambahan-tambahan, atau ghibah (membicarakan keburukan orang lain), bohong, sehingga sebetulnya sangat berat kegiatan mengobrol itu, bila melihat peluang-peluang dosa tersebut. Bahkan apabila kita sudah memahami hakikat bicara, maka kegiatan ngobrol-ngobrol bukan hal yang menarik, malah mestinya inginnya menghindar saja apabila bertemu dengan orang-orang yang biasa mengobrol yang menjauhkan dari Allah SWT. Bahkan indikasi kurang iman dan kurang amal, apabila terdapat kebiasaan banyak mengobrol tidak bermanfaat. Orang yang banyak ngobrol itu sepertinya tidak memiliki target untuk bisa hapal quran, atau zikir-zikir. Terlebih di bulan suci ini.

Kita mendengar pembicaraan tidak gampang, apalagi kemudian ingin membicarakannya lagi kepada orang lain. Kalau berhasil menahannya, itulah yang akan menguatkan iman, bila tidak kuat menahan pembicaraan, akan mudah banyak berbuat dosa.

Suatu saat ketika bersilaturahmi, dan mendapat jamuan makan, lalu diajaklah banyak mengobrol. Setelah dirasakan, ternyata merasa rugi, waktu berlalu dipenuhi dengan hal sia-sia. Informasi yang disampaikannya pun belum tentu benar, kalau pun benar, bisa jadi yang dinilai berupa suatu keburukan pada waktu itu, saat ini pelakunya sudah bertaubat.

Mungkin saja ada saatnya perlu menyampaikan pengalamannya, dan mudah-mudahan mendapat bimbingan Allah atas penyampaian informasinya itu, sehingga lebih sarat dengan hikmahnya. Tentunya hatinya mesti serius untuk mempertanyakan niatnya, “untuk hal itu apa maunya saya?”

Bila niatnya sudah bersih, nanti Allah yang menggerakannya agar menjadi contoh. Ada jalannya, Allah yang akan membuka jalannya. Bila tidak serius, maka tidak akan bisa sampai-sampai pada tujuan. Oleh karenanya, untuk menjadi latihan terpenting berjalan menuju Allah adalah amalan keikhlasan; paling penting dengan cara bersikap tidak mengharap apa pun dari makhluk. Sehingga ia berbuat baik kepada orang lain tidak bertujuan agar orang tersebut berhutang budi kepadanya, atau terikat, misalnya. Rasulullah saw memang menganjurkan kepada umatnya agar terjalin kasih sayang sesama dengan cara saling memberi hadiah. Tentunya dengan didasari niat yang ikhlas.

Tentang pengalaman terjun payung dahulu, bisa menjadi pelajaran berharga, bahwa walaupun ada manfaatnya, namun tetap niat untuk melakukan kegiatan tersebut atau apa pun kegiatan mesti diawasi. Jangan-jangan banyak ingin riyanya (pamer). Allah SWT pun menguji dengan cara tulang ekor yang menjadi bermasalah, karena salah pendaratan. Lalu mana orang-orang yang minta dikagumi itu, mereka sama sekali tidak bisa menolong. Hanya kepada Allah SWT kembali kesehatan akhirnya normal lagi.

Maka sudah lepaskanlah diri ini pada pengurusan Allah saja. Tidak usah merisaukan bagaimana Allah akan mengurus. Diri ini adalah ciptaan Allah bukan milik kita, kita hanya bisa mengendalikannya agar sesuai di jalan-Nya. Atau seperti orangtua yang menitipkan anak balitanya kepada tempat penitipan anak. Ia melakukan itu karena percaya sekali bahwa anaknya akan diurus dengan baik, dirawat, dipelihara, pada waktunya. Maka orangtua tersebut nyaman saja menjalankan aktifitas kerjanya dengan kepasrahan pengurusan balitanya kepada tempat itu.

Pasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah, niscaya akan membawa kita semakin dekat kepada Allah. (Habis)


Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhiid,
Pendiri & Pembina DPU Daarut Tauhiid






Sumber: http://ramadan.detik.com/read/2014/07/07/132622/2629993/1422/jalan-mendekat-kepada-allah-swt--2-?993305ramadan

Jalan Mendekat kepada Allah SWT (1)


Apabila Allah SWT telah membuat kita menjadi ‘jemu’ kepada makhluk, maka Allah akan memudahkan hati kita menjadi jinak, mudah dikendalikan. Maka salah satu tanda orang yang akan menjadi jinak hatinya, ia akan mudah akrab dengan Allah SWT, dan ‘jemu’ dengan makhluk. Para kekasih Allah SWT melewati fase ini. Bila hati ini masih beragam pikiran, maka dekat dengan Allah menjadi sulit.

Para kekasih Allah SWT ini sepertinya tidak dibuat nyaman hatinya apabila mereka bergaul dengan banyak makhluk, karena ditakutkan berbuat dosa, kecuali sebatas kewajibannya saja berinteraksi dengan sesama, dan bisa memberikan manfaat kepada sesama. Selebihnya mereka lebih asyik dan nyaman dengan zikir atau tilawah Alquran, sehingga akan terasa berat apabila akan berinteraksi dengan yang lainnya. Perlu dicatat dalam hal ini bahwa bukan berarti tidak boleh bergaul, kita tetap mesti bergaul bersosialisasi, malah Islam menganjurkan kita untuk shalat berjamaah, dan berjamaah dalam sinergi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hanya saja, hatinya sangat dijaga tidak sampai terperangkap oleh hiruk-pikuknya dunia.

Andaikan dirasa sulit sampai mendekat kepada Allah, maka itu bisa diatasi dengan cara benar-benar mengikis dosa dan syirik, niscaya akan mudah sampai kepada-Nya.

Seorang kekasih Allah bukan seorang yang maksum, tanpa dosa. Namun, ia terus berupaya keras menjaga dirinya dari perbuatan dosa. Orang yang bisa mendekat kepada Allah, bisa melalui dua jalan, yakni taraqqi dan tanazul. Taraqqi diartikan sebagai perjalanan spiritual seorang hamba dalam upaya mendaki mendekati Allah. Sedangkan tanazul ialah respons positif dari Allah terhadap upaya yang penuh kesungguhan (mujahadah) seorang hamba yang digambarkan seolah-olah Allah menariknya. Yang pertama penuh perjuangan dalam jalan riyadloh (latihan), dan yang kedua, menerima karunia keyakinan dari Allah, setelah melewati masa-masa riyadloh pula.

Bila seorang insan benar bersih dari berbuat dosa, memang itu cukup sulit terjadi. Seorang dekat dengan Allah karena Allah-lah yang menariknya dengan menutupi dosa-dosanya, bukan dengan kehebatan amal. Orang tersebut tidak akan melihat amalnya, ia hanya melihat kemurahan Allah atas terjadinya amal shaleh yang dijalankannya.

Sedemikian sehingga pada jalan yang pertama akan berupaya keras hatinya bisa ikhlas dengan menjaga niatnya, dan senantiasa sibuk membersihkan hati. Mereka yang berada pada jalan kedua, setiap beramal ia meyakini bahwa itu terjadi karena karunia Allah “Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim”.

Orang yang dekat dengan Allah SWT dirinya tenang dalam perasaan senantiasa ada bimbingan dalam melangkah di kehidupannya untuk senantiasa sesuai dengan perintah Allah SWT. Sehingga ketika beramal ia meyakini itu merupakan karunia Allah terhadap dirinya. Demikian pula ketika ditimpa musibah, misalnya ditipu orang lain, bagi dirinya pribadi itu tidaklah berbahaya, ia pun dapat mengambil hikmah atas kejadian tersebut. Hal demikian tidaklah berat, karena ia sudah melihat adanya perbuatan Allah SWT di dalamnya. (bersambung)

*Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhiid,
Pendiri & Pembina DPU Daarut Tauhiid







Sumber: http://ramadan.detik.com/read/2014/07/07/083246/2629556/1422/jalan-mendekat-kepada-allah-swt--1-?r771108bcj